Tekno, Bandung - Sebagian orang percaya, peredaran atau gerak semu matahari bisa menurunkan suhu di daerah katulistiwa seperti Indonesia. Contohnya pada 21 Juni 2017 saat matahari berada di posisi 23,5 derajat Lintang Utara.

Saat  ini diyakini sebagai hari terdingin, seiring matahari yang seolah-olah menjauhi katulistiwa. Astronom dan peneliti klimatologi tidak sependapat dengan anggapan itu.

Peredaran semu matahari merupakan gerakan seolah-olah sang surya dari garis ekuator atau katulistiwa secara periodik tahunan. Dari posisi 0 derajat di garis katuliswa naik ke garis lintang balik utara 23,5 derajat, prosesnya berlangsung sejak 21 Maret hingga 21 Juni.

Setelah itu posisi matahari seakan turun lagi ke posisi 0 derajat pada 23 September, lalu terus ‘turun’ ke garis lintang balik selatan 23,5 derajat pada 22 Desember. Setelah itu naik lagi ke posisi 0 derajat pada 21 Maret, begitu seterusnya hingga membentuk siklus.

Gerak semu matahari tahunan disebabkan oleh proses perputaran bumi mengelilingi matahari (revolusi). Sejatinya, yang berubah adalah posisi bumi yang berotasi 24 jam sehari dengan garis sumbu miring 23,5 derajat ketika mengelilingi matahari.

Peneliti klimatologi dari Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung, Erma Yulihastin mengatakan, posisi matahari saat naik dari ekuator ke 23 derajat lintang utara hanya menandakan bahwa saat itu seharusnya merupakan puncak musim panas di belahan bumi utara.

“Berlaku di wilayah lintang menengah atau subtropis yang memiliki empat musim,” ujarnya, pada Sabtu 17 Juni 2017.

Sebaliknya di belahan bumi selatan yang secara bersamaan waktunya, mengalami puncak musim dingin. Gerak semu matahari itu menyebabkan ada wilayah yang memilik empat musim.

Meskipun demikian, kata Erma, suhu harian di belahan bumi utara dan selatan tidak hanya dipengaruhi oleh posisi gerak semu matahari tersebut.

“Karena cuaca sangat dinamis dan faktor-faktor lain juga mempengaruhinya seperti distribusi tekanan, sirkulasi angin, tingkat kelembapan,” katanya.

Di wilayah katulistiwa seperti Indonesia, suhu permukaannya tidak dipengaruhi oleh posisi matahari di garis lintang 23,5 derajat di utara maupun selatan. Indonesia di zona tropis yang hanya punya musim hujan dan kemarau, variasi suhunya sangat kecil karena matahari bersinar sepanjang tahun.

Ketika Juni ini udara terasa dingin, penyebabnya bukan karena gerak semu matahari tersebut. “Itu karena faktor kemarau, awan berkurang banyak, dan faktor angin monsun tenggara dari Australia yang bersifat kering dan dingin,” ujarnya.

Pola angin monsun itu juga ada yang menganggapnya terkait atau mengikuti pola gerak semu matahari. “Tidak, karena angin monsun lebih ditentukan oleh perbedaan tekanan yang kontras antara benua Australia dan benua Asia,” kata dia. Selain itu, tidak semua tempat di dunia ini dipengaruhi oleh monsun.

Astronom dari komunitas Langit Selatan di Bandung, Avivah Yamani mengatakan, perubahan jarak matahari dengan gerakan semunya itu tidak signifikan secara langsung mengubah suhu bumi.

Ketika berada pada jarak terdekat, bumi memang menerima lebih banyak cahaya matahari dan sebaliknya, namun jumlahnya hanya sekitar 7 persen. “Justru saat di aphelion (posisi terjauh matahari), temperatur rata-rata di bumi lebih hangat sekitar 2,3 derajat,” kata lulusan Astronomi ITB tersebut.

Avivah meyakini ada faktor cuaca lokal yang membuat suhu terasa lebih dingin dari biasanya atau sebaliknya. Contoh menarik dari fenomena itu, kata dia, musim panas di belahan bumi utara pada  Juli itu rata-rata lebih panas dari musim panas di selatan saat perihelion atau matahari dalam jarak terdekat dengan bumi yang sekitar 147 juta kilometer. Jarak terjauh matahari dengan bumi 152 juta kilometer.

ANWAR SISWADI